Rabu, 14 Maret 2012

sejarah manajemn ritel

Untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya, retailer akan beroperasi dengan bentuk organisasi yang lebih ramping dan effisien. Pada masa datang retailer akan beroperasi dengan gross margin yang lebih rendah, biaya operasional yang lebih kecil, lebih sedikit inventori dengan perputaran barang yang lebih cepat.

Trend konsumen masa depan adalah Pay Less, Expect More, Get More. Konsumen masa depan adalah konsumen yang memiliki ekpektasi yang lebih tinggi, meminta lebih banyak, menginginkan kualitas yang lebih tinggi dan konsisten, lebih banyak pilihan, toko yang lebih nyaman dan pelayanan yang lebih bernilai, namun dengan membayar lebih murah, waktu lebih cepat, dengan usaha dan resiko lebih rendah. Dapat diperkirakan, kompetisi selanjutnya, tidak hanya pada harga, namun menyangkut variable lain yang berkaitan dengan value atas pengalaman berbelanja pelanggan.

Dalam millenium baru ini beberapa trend yang sudah dan akan terjadi di Indonesia dan memberikan dampak bagi industri retail diantaranya :


Gelombang masuknya retailer asing.

- Evolusi ke Format Retail Baru

- Meningkatnya keluarga dengan double income (suami-istri bekerja).

- Pertumbuhan kota-kota satelit disekeliling kota besar.

- Mobilitas yang semakin tinggi dan waktu luang yang semakin sedikit.

- Pembantu rumah tangga menjadi semakin mahal.

- Perkembangan pemakaian PC rumah tangga dan internet yang semakin tinggi.

- Perkembangan teknologi dan pemakaian Handphone-PDA.

Evolusi perkembangan format retail di Indonesia dapat di bagi atas beberapa tahapan:

1. Sebelum 1960-an : Era perkembangan retail tradisional berupa retailer atau pedagang pedagang independen.

2. Tahun 1960-an : Era perkenalan retail modern dengan format Department Store (Mass Merchandiser), ditandai dengan dibukanya gerai retail pertama SARINAH di Jl. MH Thamrin.

3. Tahun 1970-1980-an: Era perkembangan retail modern dengan format Supermarket dan Department Store, ditandai dengan berkembangnya retailer modern (Mass Merchandiser dan Grocery) seperti Matahari, Hero, Golden Truly, Pasar Raya dan Ramayana. Pada masa ini juga berkembang format Drug Store, yang lebih dikenal dengan nama apotik.

4. Tahun 1990-an : Era perkembangan Convenience Store (C-Store), High Class Departmet Store, Branded Boutique (High Fashion) dan Cash and Carry. Perkembangan C-store ditandai dengan maraknya pertumbuhan Indomaret dan AMPM. Perkembangan High Class department Store dan High Fashion Outlet, ditandai dengan masuknya SOGO, Metro, Seibu,Yaohan, Mark & Spencer dan berbagai outlet high fashion lainnya. Pekembangan format Cash and Carry ditandai dengan berdirinya Makro, diikuti oleh retailer lokal dengan format serupa misalnya GORO, Indogrosir dan Alfa.

5. Tahun 2000 - 2010 : Era perkembangan Hypermarket, Factory Outlet, Category Killer dan perkenalan dengan e-retailing. Era Hypermarket ditandai dengan berdirinya Continent Hypermarket dan Paserba Carrefour di tahun 1998. Pada tahun 2002 akan dibuka Hypermarket GIANT, dan beberapa gerai hypermarket lainnya. Adanya kebutuhan akan barang bagus/bermerek dengan harga miring akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan mendorong perkembangan Category Killer dan Factory Oulet. Di beberapa tahun ke depan, akan bermunculan category killer di berbagai kategori produk seperti Family Apparel, Consumer Electronic, Auto Aftermarket, Home/Bed/Bath, Home Improvement, Pet Supply, Craft/Hobby, Computer, Sporting Goods, melengkapi category killer yang telah berkembang saat ini seperti Department Store, Book Stores, Electronic, Office Supply dan Toy Stores. Berbagai factory outlet kini mulai menjamur di kota Bandung dan Jakarta, misalnya Millenia dan Metro Factory Outlet. Multipolar Group dengan LIPPOSHOP-nya berjasa dalam memperkenalkan e-retailing di Indonesia, contoh retailer yang berbasis internet misalnya sanur, click and drag dan gramedia on-line.

6. Tahun 2010-2020 : Era perkembangan Hard Discounter Store dan Catalog Services. Persaingan harga yang semakin sengit akan mengarahkan retailer mencari alternatif format retail yang lebih effisien. Sehingga pada masa ini akan menjamur format Hard Discounter menggantikan format Hypermarket. Format hardiscounter menawarkan produk sejenis dengan harga 15-30% lebih murah dibandingkan format retail lainnya. Pada masa ini private label akan semakin populer. Selain itu untuk barang-barang tahan lama misalnya pakaian, appliances dan elektonik, akan berkembang melalui format Catalog Services. Format ini memungkinkan retailer untuk menjual dengan harga lebih murah karena tidak mengeluarkan biaya investasi dan operasional toko secara fisik. Semakin memasyarakatnya kepemilikan PC dan akses internet akan mendorong pertumbuhan format catalog melalui e-retailing.

7. Setelah tahun 2020 : Era perkembangan e-retailing dan Toko Spesialisasi. Tingkat kepemilikan PC dan akses internet akan semakin merata di Indonesia, sehingga mendorong ke arah perkembangan e-retailing yang sesungguhnya. Pemesanan dan pembayaran produk dilakukan melalui internet, bahkan pada masa tersebut kita dapat menggunakan handphone-PDA atau handheld terminal yang disediakan retailer untuk melakukan pembelian produk saat berkunjung ke supermarket. Cukup scan barang yang akan kita beli dengan Handphone-PDA atau handheld, selanjutnya kita boleh langsung membayar dengan credit card secara on-line lewat peralatan tersebut atau dengan cash di cashier. Kecenderungan berikutnya yang mungkin terjadi adalah toko spesialisasi akan menjamur, sehingga untuk membeli rokok misalnya, orang lebih senang pergi ke toko khusus yang menjual berbagai jenis rokok (Ciggarette Outlet), dengan harga yang tentu saja lebih bersaing.

PERATURAN-PERATURAN RETAIL DAN HUBUNGANNYA DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999

Dalam kajian ini yang menjadi pokok kajian adalah untuk mengetahui peraturan-peraturan yang berlaku di bidang usaha retail apakah bertentangan atau tidak dengan UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan yang berlaku untuk wilayah Jabotabek dalam bidang retail adalah pada tiga produk hukum yaitu (1) Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 145/MPP/Kep/5/1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pusat Pertokoan; (2) Perda DKI No.2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi DKI Jakarta, dan (3) Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 44 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta Di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Keputusan bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan Dan Menteri Dalam Negeri tsb di atas pada intinya memberikan syarat-syarat bagi pasar modern untuk tidak merugikan pengusaha kecil yang melakukan usaha retail tradisional.

Pasal 10 Perda DKI No. 2 tahun 2002 mengatur luas dan jarak tempat penyelenggaraan Usaha sbb: (a) usaha perpasaran swasta yang luas lantainya 100 m2 s.d 200 m2 harus berjarak radius 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak disisi jalan Lingkungan/Kolektor/Arteri; (b) usaha perpasaran swasta di atas 200 m2 s.d 1000 m2 harus berjarak radius 1,0 km dari pasar lingkungan dan terletak disis jalan Kolektor/Arteri, 1000 m2 s.d 2000 m2 berjarak radius 1,5 km dari pasar lingkungan dan terletak disisi jalan Kolektor/Arteri, dan (c) usaha perpasaran yang luas lantainya di atas 2000 m2 s.d 4000 m2 harus berjarak radius 2 km dari pasar lingkungan dan terletak disisi jalan Kolektor/Arteri.

Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 tahun 2003 pada pokoknya mengatur perlindungan bagi warung dan toko atau usaha kecil dari usaha perpasaran swasta skala besar.

Dari ketiga ketentuan yang mengatur kegiatan usaha retail tersebut di atas, maka yang significant mengendalikan persaingan antara usaha retail tradisional dengan usaha retail modern di Jabotabek adalah Perda adalah No 2 tahun 2002.

Dengan berlakunya Perda No 2 tahun 2002 membawa konsekwensi sbb. Pertama, dalam area 2 km hanya ada satu pasar, yaitu pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya yang di dalamnya terdapat beberapa pelaku usaha retail tradisional. Dengan demikian Perda ini menciptakan hambatan untuk masuk ke ‘pasar’ bagi usaha retail modern skala besar. Substansi dari Perda DKI tersebut jika dilihat dari aspek praktis maka dapat menciptakan pasar tradisional tsb potensial melakukan ‘penguasaan pemasaran barang’ yang dapat melahirkan praktek monopoli, karena pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya menjadi pelaku usaha tunggal yang menguasai lebih dari 75%. Kedua, dalam usaha Mini Market, Pasar Swalayan harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya. Ketiga, ketentuan ini jika dihubungkan dengan tujuan pembentukan UU No.5 tahun 1999 bertentangan Pasal 3 huruf b bahwa tujuan UU No 5 thn 1999 adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menegah dan pelaku usaha kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar